Kolaborasi Maqashid Syariah untuk Mewujudkan Keadilan Sosial di Aceh



Maqashid syariah, tujuan dari syariat Islam yang bertujuan untuk melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, merupakan panduan dalam menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan bebas dari kemiskinan serta penindasan. Dalam konteks Aceh, penerapan syariat Islam sudah berlangsung sejak diberlakukannya Qanun Syariat Islam. Namun, implementasinya masih jauh dari harapan banyak pihak. Konsep maqashid syariah, yang mengedepankan keadilan sosial, pemberantasan kemiskinan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, memerlukan kolaborasi yang lebih kuat antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya agar dapat diterapkan secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Maqashid Syariah dan Keadilan Sosial

Sayyid Qutb dalam Milestones menekankan bahwa syariat Islam bukan hanya soal hukum, tetapi juga cara menciptakan masyarakat yang bebas dari kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan tindak korupsi. Ia berargumen bahwa penerapan syariat Islam memungkinkan terciptanya keadilan sosial yang lebih baik, yang mendukung kesetaraan dan mengatasi penindasan. Syariat Islam, menurut Qutb, berfungsi untuk menyeimbangkan hubungan antara individu, masyarakat, dan negara, dengan tujuan utama menciptakan masyarakat yang sejahtera.

Di Aceh, syariat Islam diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari peraturan agama, hukum pidana Islam, hingga pengaturan sosial dan ekonomi. Meski demikian, penerapannya masih terbatas. Kebijakan yang ada lebih sering bertentangan dengan prinsip maqashid syariah dalam hal pemberantasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan sosial, dan penanggulangan korupsi. Maka dari itu, meskipun syariat Islam di Aceh sudah pada jalurnya, implementasi yang lebih tegas dan tanpa pandang bulu sangat dibutuhkan untuk menciptakan keadilan yang sejati. Dalam konteks ini, kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan menjadi sangat penting.

Kolaborasi dalam Implementasi Maqashid Syariah

Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, juga menegaskan pentingnya penerapan prinsip-prinsip Islam dalam politik dan sosial, dengan fokus pada pendidikan, reformasi sosial, dan pemberdayaan umat. Ia berpendapat bahwa negara Islam harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Dalam konteks Aceh, hal ini berarti syariat Islam tidak hanya harus diterapkan di level hukum, tetapi juga harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang melibatkan kepentingan sosial dan ekonomi masyarakat secara lebih luas.

Tantangan terbesar dalam penerapan syariat Islam di Aceh bukanlah semata-mata dalam bentuk regulasi hukum, melainkan dalam implementasi kebijakan yang bersifat inklusif dan berkeadilan. Elinor Ostrom dalam teori pengelolaan sumber daya bersama menekankan bahwa kebijakan yang berhasil sering kali datang dari kolaborasi berbasis komunitas, bukan dari kontrol pusat yang terpusat. Dalam konteks Aceh, kolaborasi ini berarti bahwa kebijakan yang diambil harus melibatkan masyarakat luas, bukan hanya pemangku kepentingan di tingkat pusat, tetapi juga pemimpin daerah yang dapat memahami dan mengimplementasikan kebijakan sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam.

Kolaborasi Antara Pemimpin Daerah dan Pemerintah Pusat

Di Aceh, terdapat keinginan kuat dari masyarakat untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh), mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk tata kelola pemerintahan di 18 kabupaten, 5 kota, yang dipimpin oleh 1 gubernur. Keinginan ini terinspirasi oleh sejarah kejayaan Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam di masa lalu, yang berhasil mewujudkan pemerintahan berbasis prinsip-prinsip syariat Islam yang adil dan sejahtera.

Sejarah mencatat kepemimpinan Al Malik Ash Shalih (Sultan Malikussaleh), pendiri Kerajaan Samudera Pasai, sebagaimana tertulis pada penggalan nisan beliau yang dikutip dari Mapesa. Beliau dikenal sebagai seorang yang bertakwa (At-Taqiy), pemberi nasihat (An-Nashihiy), dan pembebas (Al-Fatih). Begitu pula dengan Sultan Ali Mughayat Syah sebagai pelopor Kerajaan Aceh Darussalam, yang juga dicatat dalam literatur Mapesa sebagai seorang yang tunduk patuh kepada segala perintah Allah (Ar-Raji ila Rahmatillah), seorang pejuang yang berperang melawan musuh di darat dan laut serta mendapatkan pertolongan Allah (Al-Ghazi fil Barri wal Bahri Yanshuruhullah), dan seorang pemimpin yang mengerahkan segala daya dan upaya untuk kebaikan hamba-hamba Allah (Al-Bazil li Ibadillah).

Keberhasilan kedua pemimpin tersebut menjadi cerminan bagaimana nilai-nilai syariat Islam mampu membangun tata kelola negara yang berkeadilan, bermartabat, dan sejahtera. Namun, di era digitalisasi yang tumbuh pesat saat ini, tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkan nilai-nilai tersebut ke dalam konteks pemerintahan modern. Perlu ada upaya kolaboratif yang melibatkan semua pemangku kepentingan, mulai dari gubernur, bupati, hingga masyarakat, untuk memastikan syariat Islam diterapkan secara kaffah dengan tetap relevan dalam menghadapi perubahan zaman.

Penerapan maqashid syariah di Aceh harus melibatkan pemimpin terpilih yang memiliki keberanian dan komitmen untuk menegakkan hukum secara adil dan tanpa pandang bulu. Kolaborasi antara gubernur, bupati, dan wali kota, serta antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, sangat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil mendukung kesejahteraan rakyat dan mengurangi kesenjangan sosial. Terlebih, dalam kerangka MoU Helsinki yang menjanjikan otonomi khusus bagi Aceh, kolaborasi ini menjadi krusial untuk mendorong implementasi yang konsisten dan efektif.

Pemimpin daerah harus memiliki visi yang jelas dalam merancang kebijakan yang berbasis pada prinsip-prinsip syariat Islam, namun juga harus mampu berkolaborasi dengan pihak lain untuk memastikan kebijakan tersebut dapat diterima dan diimplementasikan dengan baik. Dalam hal ini, keberanian dan ketegasan menjadi faktor utama dalam menghadapi tantangan seperti korupsi, nepotisme, dan kolusi yang masih merajalela di beberapa daerah.

Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas

Kolaborasi yang efektif dalam penerapan maqashid syariah di Aceh tidak hanya membutuhkan kebijakan yang adil, tetapi juga transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses pengambilan keputusan. Salah satu aspek penting yang harus dijaga adalah mencegah praktik korupsi dan nepotisme yang masih merusak tata kelola pemerintahan. Di sini, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan kebijakan sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar menciptakan kesejahteraan dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Pemerintah daerah, mulai dari gubernur hingga kepala daerah lainnya, harus memiliki komitmen untuk menegakkan hukum syariat Islam dalam kerangka yang transparan dan bertanggung jawab. Mereka harus berani untuk mengundurkan diri jika terbukti terlibat dalam korupsi atau kolusi, serta harus menciptakan sistem pengawasan yang melibatkan masyarakat dan berbagai elemen sosial untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mengarah pada peningkatan kesejahteraan.

Menggerakkan Potensi Sumber Daya Lokal

Salah satu aspek penting dalam penerapan maqashid syariah di Aceh adalah pengelolaan sumber daya lokal secara efektif. Aceh memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun pemanfaatannya sering kali tidak terkelola dengan baik. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam dengan prinsip-prinsip syariat Islam yang menekankan keadilan, kelestarian, dan kemakmuran bersama bisa menjadi jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh.

Mengelola potensi lokal dengan baik juga dapat mencegah ketimpangan ekonomi antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta mengurangi ketergantungan pada sektor-sektor yang tidak berkelanjutan. Prinsip maqashid syariah yang menekankan perlindungan terhadap harta harus mencakup pengelolaan ekonomi yang inklusif, adil, dan berkelanjutan, yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya mereka.

Penerapan maqashid syariah di Aceh adalah langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Namun, untuk mewujudkan tujuan tersebut, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya harus diperkuat. Syariat Islam harus diterapkan secara tegas dan menyeluruh, dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan. Keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas dalam kebijakan publik juga menjadi kunci untuk mengurangi ketimpangan sosial dan memberantas praktik korupsi. Dengan kolaborasi yang solid, Aceh dapat menuju masyarakat yang lebih makmur, adil, dan sejahtera, sebagaimana dicita-citakan oleh para pemikir Islam seperti Sayyid Qutb dan Hasan al-Banna.

Penulis Oleh: Nazaruddin

Pemerhati Masalah Kebijakan dan Dosen Kebijakan Publik di Prodi Admnistrasi Publik, FISIP, Universitas Malikussaleh

Post a Comment

Previous Post Next Post